KONSEP HIFDHU AL-AMWAL IBNU ASYUUR

(OLEH FACHRIEY IMANUL HAQ, LC. MSI.)

Dalam kehidupan ini, yang dianggap sebagai suatu hal yang dharuri adalah lima unsur pokok, sebagaimana yang diyakini Ibnu Asyur 1 yang menukil pendapat Imam Ghazali, Ibnu Hajib, Al-Qurafi, al-Syatibi, bahwa yang bersifat dharuri dalam kehidupan itu berupa: Hifdhu Din, Nufus, Uqul, Amwal dan Ansab, sedang al-Qurafi menambahkan hifdhu al-‘Irdh.

Adapun yang dimaksud dengan hifdhu al-amwal adalah hifdhu al-amwali al-ummah (menjaga harta-harta umat) dari kehancuran dan dari keluarnya ketangan umat yang lain tanpa adanya ganti, juga menjaga sebagian al-amwal al-mu’tabar (harta yang secara hukum sudah menjadi miliknya) dari kelenyapannya tanpa adanya ganti.2

Selanjutnya Ibn Asyur merumuskan penjagaan al-amwal,3 beliau menyatakan bahwa maksud terpenting dalam hifdhu al-mal adalah hifdhu mal al-ummah, dan apabila mal al-ummah dalam kondisi terkumpul, maka penjagaanya tentu dengan memastikan beredarnya secara umum, dan juga memastikan langkah penjagaan harta milik individu. Sebab menjaga harta kolektif akan bermula dari harta individu. Sesungguhnya sebagian besar qawaid tasyri’ tentang harta erat sekali hubungannya dengan harta individu, sebab manfaat harta khosh akan kembali ke manfaat secara umum. Harta yang berpindah diantara individu manfaatnya akan kembali kepada dirinya dan umat seluruhnya, dan umat yang dimaksud adalah yang isyaratkan oleh al-Qur’an sebagai berikut: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya4, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik”. (QS 4: 5)

 

Harta yang beredar diantara umat dilihat secara global juga secara detail. Menurut syari’ah bahwa aturan peredarannya hendaknya dengan langkah yang dapat menjaganya oleh umat sesuai kemampuannya, begitu juga hendaknya dapat membantu dalam pengembangannya baik dalam dirinya atau pada kelompok yang kecil maupun yang besar. Dengan demikian harta itu dapat dikelompokkan menjadi harta khos pada diri individu maupun jama’ah, dan harta yang diperuntukkan membangun maslahah umah.

Harta untuk kemaslahatan umat adalah harta kaum muslimin atau harta dari baitul mal yang dikumpulkan dari berbagai hal. Harta yang demikian sebenarnya telah ada sejak zaman nabi, seperti harta zakat, onta-onta yang dipersiapkan untuk mengangkut para mujahid ke medan perang, pakaian perang mujahidin. Sebagaimana hadis nabi: “Barang siapa yang bersedia membeli sumur Raumah maka embernya didalamnya seperti ember-ember kaum muslimin”, maka sumur itu dibelilah oleh Utsman dan diperuntukkan kaum muslimin.

Selanjutnya Ibnu ‘Asyur mengidentifikasi tentang harta, beliau menyimpulkan bahwa harta itu hendaknya memiliki sifat-sifat berikut ini:

  1. Dapat disimpan, sebab sesuatu yang bermanfaat yang cepat rusak tidaklah mencukupi pemiliknya saat membutuhkannya, bahkan menuntut agar cepat-cepat digunakan walaupun pada dasarnya empunya itu tidak membutuhkannya.
  2. Berhasrat mendapatkanya, disebabkan karena betapa banyak manfaatnya; ternak, benih, pohon di pedesaan merupakan kekayaan. Emas, perak, mutiara dan peninggalan kuno di perkotaan merupakan kekayaan. Ternak, bulu ternak, danau, ladang gembala, alat memburu di pedalaman merupakan kekayaan.
  3. Mudah dibawa-bawa dan beredar, ini menunjukkan betapa banyak yang ingin mendapatkannya.
  4. Jumlahnya terbatas, kalau sesuatu itu tidak terbatas, apa lagi tidak dapat dimiliki secara khusus dan tidak dapat disimpan maka hal itu bukanlah kekayaan, seperti air laut, pasir, sungai, hutan. Akan tetapi dua yang terakhir bisa saja menjadi sarana kekayaan sebab disana akan didapatkan kayu, dan akan digunakannya sungai sebagai jalannya perahu dll.
  5. Dapat dicari.

Selanjutnya beliau menerangkan tentang tujuan syari’ah dalam urusan harta, bahwa syari’ah mempunyai konsep dalam perkara harta ini yang jumlahnya ada lima perkara, ya’ni 5:

  1. Ruwaju al-mal, ya’ni peredaran harta diantara manusia dengan cara yang benar. Ini adalah maqsud syari’ah yang agung, ini juga menunjukkan adanya hasrat dalam mu’amalah dalam harta6, disini juga disyari’atkannya kepercayaan7 dalam perpindahan harta kepada yang lain. Maqsud syari’ah untuk menjaga harta ini adalah dengan di syari’atkannya akad mu’amalah untuk memindahkan hak harta dengan imbalan ganti maupun dengan berderma. Dalam hal ini kewajiban antara yang berakad adalah menepati janjinya (5:1) maksud dari perpindahan harta antar manusia ini agar menyebar (59:7) dengan demikian harta itu akan mempunyai dua hukum: 1. Ketika masih dalam kepemilikan seseorang, maka ia boleh menggunakanya, dan menganjurkan manusia agar berusaha untuk meraihnya dan tidak melupakan hak Allah ya’ni zakat. 2. Ketika harta itu ditinggal mati oleh pemiliknya, maka tujuan syari’ah dalam hal ini adalah membagikan harta tersebut dengan lembut. Pada zaman jahiliyah ketika akan mati mereka berwasiat agar hartanya diberikan kepada seseorang yang paling digemari, atau kepada yang termashur sebagai sarana kedekatan dan kebanggaan dengannya. Maka Islam membatalkan kebiasaan mereka itu dengan berwasiat untuk kerabatnya (2:180) kemudian ayat itu di nashk dengan ayat warisan8, hanya sepertiganya saja hak shahibul mal yang akan wafat itu. Dengan demikian sempurnalah maqsud pembagian harta itu dengan hikmahnya ya’ni menjadikan harta beredar kekerabatnya, dengan demikian juga telah membantu menjaga harta berkisar pada kabilahnya, sebab umat itu terdiri dari para kabilahnya itu, makanya mereka diutamakan dengan menjaga hartanya tetap dalam daerahnya. Sarana dalam peredaran harta ini adalah: kewajiban menafkahi istri dan kerabat dengan cara yang ma’ruf.(2:3/ 17:29/ 25:67), bukan saja nafkah yang wajib tetapi yang plus, yang melahirkan keahlian dalam pembuatan dan kesenian (7:32/ 7:31), sarana peredaran harta yang lain adalah dimudahkannya al-mu’amalat sebisa munkin selama ada maslahah dan mempersempit mafsadah. (2:282) dan bermu’amalah dengan emas dan perak adalah lebih mudah dari pada dengan benda-benda yang lain ketika dalam keadaan aman, mudah dan subur. Tetapi tidak akan bermanfaat sama sekali saat dalam bahaya seperti saat diembargo, paceklik, dan tandus.
  2. Wudhuhu al-amwal, ya’ni jauhnya harta dari dhoror yang menyebabkan percekcokan, makanya disyari’atkan adanya saksi dan jaminan dalam hutang piutang.
  3. Hifdhu al-Amwal, dasarnya adalah: 4:29 dan sabda nabi: “Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan cara yang baik”9, “Barang siapa terbunuh mempertahankan hartanya maka ia syahid”10 ini semua tentang pentingnya menjaga harta dan penjaganya dan betapa beratnya dosa pelanggarnya, kalau saja ini sebagai hukum terhadap penjagaan harta milik pribadi, maka penjagaan harta umat tentunya lebih hebat. Dengan demikian juga maka seorang pemimpin umat hendaknya juga memperhatikan mashlahah umum dalam menjaga harta umum, baik itu hubungan dengan umat yang lain dengan umat Islam.Kewajibannya pertama adalah: pertama, membuka trik perdagangan antar umat, juga tentang masuknya barang dari luar negri, sebagaimana hukum perdagangan ke negri yang disebut dengan ardhul harb, serta hukum mengambil sesuatu dari pedagang yang dari ahli dzimmah, serta hukum al-jizyah dan al-khorraj. Kedua, Peraturan tentang pasar dan penimbunan harta, penyaluran zakat dan ghanimah, wakaf, wali penjaga harta, kewajiban hormati harta orang lain. (4:5/ 4:6)
  4. Itsbatu al-amwal, Kepastian harta, ya’ni kepastian harta pada pemiliknya yang tidak mengandung bahaya dan perselisihan, dengan beberapa hal: 1- Kekhususan harta itu milik pribadi maupun jamaah dengan cara yang shahih, tiada unsur keraguan apalagi bahaya, makanya diperlukan saksi. (2:282) juga sabda Rasulullah: “Orang-orang muslim itu terkait dengan apa yang di syaratkan kecuali syarat menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal”.11 2- Pemilik harta punya hak bebas mengelola hartanya tanpa membahayakan yang lain, tidak melampaui syari’at, makanya orang yang safih tidak diserahi harta, tidak diperkenankan pemilik harta membahayakan harta tetangganya, dilarangnya muamalah dengan riba. 3- Tidak mencabut harta itu tanpa kerelaannya, kalau dalam harta ada urusan hak orang lain dan ia berlangan memecahkannya maka aksi hakim lebih realistis.
  5. Al-‘Adlu fi al-mal, Keadilan didalamnya, ya’ni cara mendapatkannya dengan cara tidak dhalim, yaitu dengan bekerja atau dengan pengganti atau tabaru’ atau dengan mewarisi.

1 Ibid, 301

2 Ibid, 304

3 Ibid, 455-456

4 Orang yang belum sempurna akalnya ialah anak yatim yang belum balig atau orang dewasa yang tidak dapat mengatur harta bendanya.

5 Muhammad al-Thahir Bin Asyur, Maqashid al-Syari’ah, cet-2 (Urdun: Dar al-Nafais, 2001) h.464

6 QS al-Muzammil: 20, Dan mereka menelusuri bumi untuk meraih fadlullah dan yang lain berperang dijalan Allah.

7 QS al-Baqarah: 282,

8 Baca QS al-Nisa’:11

9 Shahih Muslim, Kitab al-Haj, al-Hadis 1218 Juz-2 h. 889

10 Shahih Bukhori, kitab al-madholim, al-hadis 248 Juz-3 h.151

11 Tirmidzi, Kitab al-Ahkam, bab madzakara min Rasulillah fi al-shulhi baina al-Nas, hadis nomor: 1352.

Jadwal Sholat


Jadwal Sholat Di Beberapa Kota