AL-MURABAH LI AL-AMIR BI AL-SYIRA

( OLEH: DENIS ARIFANDI PAKIH SATI )

Istilah al-Murabahah jenis ini adalah istilah baru dalam fikih Islam, walaupun hakikatnya dan bentuknya sudah ada pembahasannya di kalangan para ulama terdahulu. 1 Banyak pengertian yang diberikan oleh ulama untuk Muamalah ini dengan makna yang hampir berdekatan. Beberapa di antaranya:2

Dr. Samy Hamus dalam kitabnya Tathwir al-A’mal al-Masharifiyyah menjelaskan bahwa maknanya adalah seseorang datang ke Bank dan meminta untuk memberi barang dengan penyifatan yang sudah ditentukannya, kemudian berjanji akan membeli barang tersebut secara pasti, dengan keuntungan yang disepakati kedua belah pihak. Dan harganya dibayarkan oleh orang tadi secara berhatap sesuai dengan kemampuannya.

Dr. Rafiq al-Mishry menjelaskan bahwa maknanya adalah seorang peminat yang ingin membeli barang datang ke bank karena ia tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli barang tersebut secara tunai. Dan pihak penjual juga tidak menjual barang tersebut kepadanya secara kredit karena tidak menyediakan akad tersebut atau karena tidak kenal dengan peminat ini atau karena ia memang membutuhkan uang tunai. Kemudian bank membelinya dengan tunai dan menjualnnya kepada peminat tadi dengan kredit.

Dr. Sulaiman al-Asyqar menjelaskan bahwa maknaya adalah kesepakatan antara pihak bank dengan seseorang agar bank membeli sebuah barang, dan orang tadi berkomitmen untuk membelinya dari bank setelah itu. Kemudian Bank harus menjualnya kepada orang tadi dengan harga tunai atau harga kredit, dengan menentukan keuntungan dari harga beli sebelumya.

Bagaimana Terjadinya al-Murabahah li al-Amir bi al-Syira’?

Jikalau diperhatikan baik-baik, untuk terwujudkan transaksi yang satu ini, harus ada unsur-unsur yang menyertainya,3 yaitu adanya pihak yang menyuruh untuk membeli, pihak bank, dan pihak penjual. Ada tiga sisi akad disini. Padahal, dalam kajian para ulama terdahulu, biasanya dalam satu akad itu hanya ada dua saja yang berakad, yaitu antara pembeli dan penjual.

Kemudian setelah itu, ada beberapa langkah yang harus dilalui:

1-Pihak pertama (pembeli) meminta pihak kedua (bank) untuk membeli barang tertentu yang sudah disebutkan ciri-cirinya dan sifat-sifatnya.

2-Pihak kedua menerima permintaan dari pihak pertama untuk membeli barang-barang yang sudah disifatkan tadi.

3-Pihak pertama berjanji akan membeli barang yang sudah disifatkan dari pihak kedua setelah pihak kedua benar-benar memilikinya

4-Pihak kedua berjanji akan menjual barang yang disifatkan tadi kepada pihak pertama. Kadang-kadang, janji itu bersifat mengikat dan kadang-kadang bersifat tidak mengikat.

5-Pihak Kedua (bank) membeli barang tersebut secara tunai.

6-Pihak kedua menjual barang yang sudah disifatkan tadi kepada pihak kedua dengan kredit, dengan mengambil tambahan untung yang disepakati di antara pihak pertama dan pihak kedua.

Nah, bagian yang menjadi perdebatan hebat di antara ulama, yang menyebabkan adanya sebagian ulama yang menolak transaksi ini adalah masalah janjinya; apakah mengikat atau tidak.

Prof. Dr. Saad bbin Turki al-Khatslan4 menjelaskan bahwa jikalau perjanjian itu lansung terjadi di antara keduanya, yaitu pihak pembeli dan pihak bank, kemudian ada janji pasti dan mengikat di antara keduanya untuk bertransaksi, maka akadnya tidak sah. Sebab, pihak bank menjual sesuatu yang bukan miliknya.

Rasulullah Saw bersabda:

Janganlah menjual sesuatu yang tidak Anda miliki.” (Hr Abu Daud)

Jikalau ingin ikatan seperti ini, pihak bank harus memiliki barang terlebih dahulu, baru membuat akad yang bersifat pasti dan mengikat. Kemudian, bentuk seperti ini, tidak ada bedanya dengan riba jahiliyyah, seolah-olah pihak pertama mengatakan kepada pihak kedua: “Pinjamkan saya uang, dan ambilkan bunga sesuka hatimu.”

Allah SWT berfirman:

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.”5

Dalam ayat lainnya dijelaskan:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”6

Rasulullah Saw bersabda:

“Allah SWT melaknat orang yang memakan riba, mewakilkannya, penulisnya, dan dua orang saksinya. Mereka sama.” (Hr Muslim)

Abu Juhaifah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw melaknat orang yang memakan riba, orang yang mewakilkannya, dan melaknat orang yang menggambar. (Hr Bukhari)

Namun, jikalau pertemuan di antara keduanya tidak mengandung janji yang pasti dan mengikat. Hanya sekadar pertemuan janji biasa saja, dan sama sekali tidak terjadi akad, sebagaimana jenis pertama, maka para ulama berbeda pendapat juga dalam menanggapinya. Hanya saja, pendapat yang paling kuat (al-Rajih) dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan kebolahannya, yang merupakan pendapat dalam mazhab Hanafi, mazhab Syafii, mazhab Hanbali, yang juga difatwakan kebolehannya oleh kumpulan ulama dan organisasi fatwa di beberapa Negara.

Hanya saja, untuk kebolehannya, ada dua syarat yang harus dipenuhi:

a-Kesepakatan awal di antara keduanya hanyalah sekadar janji untuk membeli dan menjualnya lagi, dan tidak bersifat mengikat. Keduanya memiliki hak Khiyar (pilih) untuk menyempurnakan akadnya atau tidak setelah itu.

b-Akad tidak boleh terjadi di antara keduaya kecuali setelah barang yang akan diperjanjian sudah dimiliki oleh pihak kedua, yaitu bank atau lembaga keuangan.

Itulah beberapa hal penting yang berkaitan dengan akad al-Murabah li al-Amir bi al-Syira.

1 Prof. Said bin Turki al-Khatslan, Fiqh al-Muamalat al-Muashirah (Arab Saudi: Dar al-Shumain li al-Nasyr wa al-Tawzi, 1433 H/ 2012 M) h. 108

2 Denis Arifandi, Ba’I al-Murabah li al-Syira (Skripsi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) 2010) h. 11

3 Ibid. h.12

4 Prof. Said bin Turki al-Khatslan, Fiqh al-Muamalat al-Muashirah (Arab Saudi: Dar al-Shumain li al-Nasyr wa al-Tawzi, 1433 H/ 2012 M) h. 109

5 QS al-Baqarah [2]: 275-276)

6 QS al-Baqarah [2]: 278-279

Jadwal Sholat


Jadwal Sholat Di Beberapa Kota